6 Juni 1901, Bung Karno yang kita kenal sebagai “The Founding Father” lahir di Lawang Seketeng Surabaya, Ayahnya Raden Soekemi Sosrodihardjo, memberinya nama Koesno. Karena sering sakit – sakitan saat kecilnya dulu, akhirnya nama Kusno diganti dengan SOEKARNO. Setidaknya itulah, fakta yang hingga kini selalu kita ketahui. Sedang ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben, menjulukinya “Putera Sang Fajar”. karena Bung Karno dilahirkan saat menjelang fajar/ pagi.
Peristiwa itu terjadi 110 tahun yang lalu. Soekemi Sosodihardjo sang ayah, juga Ida Ayu Nyoman Rai Sarimben, tentu memiliki harapan besar pada sang jabang bayi yang mereka cintai dan sayangi itu. Sebuah harapan agar kelak jabang bayi, bisa membawa kebaikan dan kehidupan serta penghidupan yang layak bagi dirinya sendiri, kedua orang tuanya, juga kemakmuran bagi bangsanya.
Harapan akan kemakmuran itu, kini masih menjadi sebuah mimpi bagi ratusan juta rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia kini merindukan Pemimpin yang bisa memberikan kemakmuran, kemerdekaan, kenyamanan, menjamin keamanannya. Sebuah keadilan juga tentunya.
Kusno Menjadi Sukarno
Sejak kecil hingga usia belasan tahun, Kusno selalu sakit-sakitan. Yang terparah adalah saat ia berumur sebelas tahun. Sakit thypusmenyerangnya dengan hebat. Bahkan kerabat dan handai taulan menyangka, Kusno berada di ambang pintu kematian.
Sejak kecil hingga usia belasan tahun, Kusno selalu sakit-sakitan. Yang terparah adalah saat ia berumur sebelas tahun. Sakit thypusmenyerangnya dengan hebat. Bahkan kerabat dan handai taulan menyangka, Kusno berada di ambang pintu kematian.
Dalam kondisi seperti itu, ayahandanya, Sukemi Sosrodihardjo mendorong semangat Kusno untuk bertahan.
Selama dua setengah bulan Kusno tak bangun dari tempat tidurnya. Dan…. selama itu pula, ayahnya setiap malam tidur di bawah tempat tidur Kusno. Ia berbaring di atas lantai semen yang lembab di alas tikar pandan yang tipis dan lusuh, tepat berada di bawah bilah-bilah bambu tempat tidur Kusno.
Memang, riwayat penyakit Kusno kecil berderat panjang. Ia tercatat pernah mengidap malaria, disentri… pokoknya semua penyakit dan setiap penyakit. Hingga akhirnya, Sukemi menyimpulkan, nama Kusno tidak cocok, karenanya harus diganti agar tidak sakit-sakitan. Dalam tradisi Jawa, mengganti nama seorang anak (terutama bila dianggap tidak cocok karena “terlalu berat” dan mengakibatkan si anak sakit-sakitan) adalah hal biasa.
Raden Sukemi, ayahanda Kusno adalah penggandrung Mahabharata, sebuah epik Hindu zaman dulu. Tak heran bila suatu hari Sukemi berkata kepada Kusno, “Kus, engkau akan kami beri nama Karna. Karna adalah salah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata.”
Kusno menyambut kegirangan, “Kalau begitu, tentu Karna seorang yang sangat kuat dan sangat besar…”
“Oh, ya nak,” jawab Sukemi setuju, “juga setia pada kawan-kawan dan keyakinannya, dengan tidak memperdulikan akibatnya. Tersohor karena keberanian dan kesaktiannya. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.”
Dan… sambil memegang bahu, serta memandang jauh ke dalam mata Kusno, berkatalah sang ayah, “Aku selalu berdoa, agar engkau pun menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua.”
Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa, huruf “A” menjadi “O”. Sedangkan awalan “Su” pada kebanyakan nama orang Jawa, berarti baik, paling baik. Jadi, Sukarno berarti pahlawan yang paling baik. Begitulah nama Kusno telah berganti menjadi Karno… Sukarno.
Namanya satu kata saja: SUKARNO. Maka, ketika ada wartawan asing menuliskan nama Ahmad di depan kata Sukarno, Bung Karno menyebut wartawan itu sebagai goblok.
Ia juga menjelaskan ihwal ejaan “OE”. Waktu ia sekolah di zaman Belanda, untuk kata “U” memang ditulis “OE”. Tak urung, tanda tangan Bung Karno pun menggunakan “OE”. Akan tetapi, setelah Indonesia merdeka, Bung Karno-lah sebagai Presiden yang menginstruksikan supaya segala ejaan “OE” kembali ke “U”. Ejaan nama Soekarno pun menjadi Sukarno. “Tetapi, tidak mudah untuk mengubah tanda tangan setelah berumur 50 tahun, jadi kalau aku sendiri menulis tanda tanganku, aku masih menulis S-O-E,” ujar Bung Karno, menjelaskan ihwal ejaan namanya yang benar adalah SUKARNO dengan tanda tangannya yang masih menggunakan ejaan SOEKARNO karena kebiasaan.
Putra Sang Fajar
Bayi Sukarno lahir menjelang matahari merekah. Karenanya, dia disebut pula sebagai Putra Sang Fajar. Orang Jawa memiliki kepercayaan, seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu. Terlebih, Bung Karno yang dilahirkan tahun 1901 (tanggal 6 Juni) terbilang putra perintis abad. Ya, abad ke-19, sebuah peradaban gelap yang masih menyelimuti bangsa kita dan sebagian besar belahan bumi lainnya oleh aksi imperialisme yang merajalela.
Kelahiran putra sang fajar, diyakini —setidaknya oleh Idayu, sang ibunda— bakal menjadi penerang bagi bangsanya. Letusan Gunung Kelud yang terjadi kala Sukarno lahir, makin menguatkan pratanda alam menyambut kehadirannya di atas jagat raya. Benar, gunung berapi yang puncaknya di atas ketinggian 1.731 di atas permukaan air laut itu, tiba-tiba saja bergolak setelah sekian lama tidak menunjukkan aktivitas vulkanik yang berarti.
Begitulah alam memberi tanda bagi lahirnya sang jabang bayi putra pasangan Raden Sukemi Sosrodihardjo dan Idayu ini. Siapa nyana, bayi merah yang dilahirkan bukan oleh dukun beranak, melainkan oleh seorang kakek yang masih kerabat ayahandanya itu, kelak akan berjuluk Pemimpin Besar Revolusi, Panglima Tertinggi, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Dialah sang proklamator, yang membawa bangsa ini memasuki pintu gerbang kemerdekaan, setelah lebih 3,5 abad dijajah Belanda, dan 3,5 tahun dinista Jepang dengan bengisnya. Bung Karno sendiri menyimpan sebuah “restu” Ibunda, saat usia balita.
Dikisahkan, suatu subuh, menjelang matahari menyingsing, ibunda Sukarno bangun dan duduk di beranda rumahnya yang kecil, menghadap ke arah Timur. Udara pagi masih menggigit, embun pagi menyelimuti dedaunan. Sukarno yang terbangun, menyaksikan ibundanya duduk terpekur, diam tak bergerak menyongsong matahari pagi. Demi melihat ibuda di beranda seorang diri, Sukarno kecil mengayun langkah menghampirinya.
Sang Idayu, demi melihat anaknya mendekat, diulurkannya kedua tangan dan direngkuhnya Sukarno kecil ke dalam pelukannya. Nah, di saat itulah ibunda Idayu melepas kata dengan nada lembut, “Engkau sedang memandangi fajar nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita, karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar menyingsing. Orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dahulu. Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kau lupakan nak, bahwa engkau ini putra dari sang fajar.”
Tutur lembut sang ibu, dimaknai Bung Karno sebagai sebuah restu yang mengalir bersama darah Sukarno sepanjang hayat dikandung badan.
Bagaimana dengan makna angka yang serba enam yang mengiringi kelahirannya? Ya, Sukarno dalam satu kesempatan menuturkan ihwal kelahirannya pada tanggal enam bulan enam, berbintang gemini. Lambang kembar yang mengalirkan dua watak berlainan. Demikianlah Sukarno. Ia bisa lunak, dan bisa sangat cerewet. Bisa keras laksana baja, bisa lembut berirama. Ia meringkus musuh negara dan menjebloskannya ke balik jerajak besi, tetapi tak tega melihat seekor burung terkurung dalam sangkar. Ia memerintahkan prajurit membunuh musuh, tetapi tak tega menepuk nyamuk yang menggigit lengannya.
Dialah Sukarno, lahir dari seorang ibu kelahiran Bali dari kasta Brahmana, Idayu, keturunan bangsawan. Raja Singaraja yang terakhir, adalah paman ibundanya. Sedangkan ayah yang mengukir jiwa raganya, berasal dari Jawa bernama Raden Sukemi Sosrodihardjo. Dia berasal dari keturunan Sultan Kediri.
Diperingati Sederhana
Seratus sepuluh tahun setelah itu, seakan tidak banyak yang tahu kalau hari ini (6/6) adalah hari kelahiran Bapak Proklamator Indonesia, Soekarno. Hanya di Grobogan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah, ulang tahun presiden pertama RI tersebut diperingati secara sederhana di kantor Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan setempat.
Partai berlambang banteng itu juga mengundang warga sekitar untuk mendoakan arwah Bung Karno dengan menggelar tahlilan. Acara dilanjutkan melekan, layaknya syukuran atas kelahiran seorang bayi.
Soekarno lahir di Blitar, 6 Juni 1901 dan wafat 21 Juni 1970. Peringatan hari lahir Bung Karno sudah seharusnya menjadi momentum bagi rakyat Indonesia untuk membangkitkan semangat membangun negeri dan meneruskan cita-cita Sang Proklamator.
Isi Teks Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-05
Wakil-wakil bangsa Indonesia.
-
-
- Soekarno/Hatta
-
Dari berbagai sumber
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung
jangan lupa untuk Follow blog ini.